Modul 1 : Fondasi Apologetika Kristen
Pembicara: Bedjo Lie, Samuel Soegiarto, Yakub Tri Handoko
Akademi API modul pertama ini merupakan perkenalan intensif dengan konsep dan semangat yang diusung oleh para pendiri API. Melalui pemaparan materi dan interaksi langsung selama acara dengan para pembicara diharapkan terjadi impartasi pengetahuan dan kehidupan. Selain itu, Akademi API pertama juga membicarakan pengantar umum apologetika. Pengantar, tetapi bukan berarti dangkal. Pengantar dalam arti fundamental. Semua topik yang penting akan diulas secara ringkas. Beberapa bahkan akan dipraktekkan di bawah supervisi para pembicara.
Modul Course
Tiga kata apa yang terbersit dalam pikiran Anda pada saat mendengar kata “apologetika”? Apakah kesan pertama yang Anda tangkap bersifat positif atau negatif? Bagaimana kesan seperti itu bisa Anda dapatkan?
Kebutuhan adalah satu hal. Kebutuhan yang mendesak adalah yang lain. Mengamati kondisi di lapangan, tidak salah untuk mengatakan bahwa pelayanan apologetika bukan hanya sebuah kebutuhan, tetapi kebutuhan yang sangat mendesak.
Pelayanan Apologetika Indonesia (API) dimulai dengan panggilan Tuhan yang bersifat unik kepada tiga orang hamba-Nya yaitu Yakub Tri Handoko, Bedjo Lie dan Samuel Soegiarto. Awalnya pelayanan apologetika telah dilakukan oleh masing-masing individu secara terpisah sejak tahun 2005. Seiring dengan waktu dan pergumulan bersama Tuhan, maka pada tahun 2017 ketiganya bersepakat untuk bersinergi dengan melakukan pelayanan apologetika dalam sebuah wadah bersama. Hasil pertama dari sinergi ini adalah peluncuran Kursus Intensif API yang pertama di Bali. Selanjutnya, pada tanggal 12 Januari 2018, ketiganya bersepakat mendirikan Apologetika Indonesia (API) di bawah payung Grace Alone Ministry (GRAMI). GRAMI sendiri memiliki fokus pelayanan di empat area pelayanan yaitu: Leadership, Evangelism, Apologetics, dan Preaching (LEAP).
Para ahli mengusulkan beragam definisi untuk “logika”. Masing-masing dengan penekanan dan perbedaannya masing-masing. Secara sederhana, logika dapat dipahami sebagai sebuah cabang studi dalam filsafat mengenai cara berpikir untuk memahami dan merumuskan kebenaran secara tepat dan efektif.
Ilmu logika telah berkembang begitu rupa. Beragam hukum dan rumusan yang lebih kompleks telah dihasilkan. Dalam bab ini kita hanya berfokus pada tiga hukum logika yang paling mendasar dan harus dipahami dalam sebuah penalaran logis.
Dalam penalaran logis, baik itu dalam konteks percakapan, diskusi maupun debat, seseorang dapat terlibat dalam berbagai kekeliruan berpikir. Apologis harus mempelajari berbagai jenis kekeliruan berpikir ini agar dapat mendeteksinya dalam sebuah argumentasi, menghindari penggunaannya, dan membangun argumen yang benar. “It is important to know fallacies because even though they might be psychologically persuasive, they are not logically correct” (Geisler and Brooks, Come Let Us Reason, 81).
Setiap orang pasti bersentuhan dengan epistemologi, baik secara sengaja atau tidak, baik secara benar atau keliru, baik secara filosofis maupun praktis. Sayangnya, tidak semua orang memahami epistemologi dan melakukan pencarian kebenaran dengan cara yang benar. Mengapa manusia sukar dipisahkan dari epistemologi? Pertama, natur manusia. Dalam pengantar buku metaphysics, Aristotle mengatakan: “Semua manusia secara hakikat ingin mengetahui”. Kedua, interaksi dengan orang lain atau informasi. Manusia membutuhkan alasan untuk meyakini atau meragukan sebuah informasi.
Walaupun epistemologi tidak terhindari dan memegang peranan penting dalam pencarian pengetahuan, tidak semua orang bersikap positif atau optimis terhadap hasilnya. Bagi mereka, pengetahuan sangat sukar (bahkan mustahil) untuk diperoleh. Pandangan ini secara umum diberi label “skeptisisme”.
Ada bermacam-macam metode yang diusulkan oleh para ahli untuk melakukan apologetika secara lebih efektif. Keragaman ini disebabkan oleh perbedaan yang berkaitan dengan titik berangkat apologetika.
Jika strategi lebih berbicara mengenai perencanaan umum, maka taktik lebih kepada eksekusi detil dari tiap perenca- naan yang ada. Di dalam konteks militer, strategi lebih berfokus kepada memenangkan peperangan, sedangkan taktik lebih kepada memenangkan pertempuran.
Tidak ada pemikiran yang benar-benar netral atau objektif. Setiap orang sudah memberikan loyalitas pada paradigma tertentu. Salah satu yang paling mendasar adalah wawasan dunia (worldviews). Paradigma ini mempengaruhi cara berpikir dan isi pemikiran seseorang.
Istilah “ateisme” berasal dari Bahasa Yunani a = anti, tidak, atau lawan dan theos = dewa/allah. Secara umum istilah ini merujuk pada sebuah ideologi (isme) yang tidak memercayai keberadaan Allah. Paham ini memiliki spektrum yang cukup luas (baca Gray, Seven Types of Atheism).
Proses menjadi seorang ateis tentu saja tidak sama. Faktor penyebab cukup beragam. Di antara semua faktor tersebut, yang paling dominan juga berlainan antara satu dengan yang lain.
“Lewis mulai menyadari bahwa ateisme tidak – dan tidak dapat – memuaskan hasrat yang terdalam dalam hatinya atau intuisinya bahwa ada banyak hal dalam kehidupan yang tidak terlihat di permukaan” (Alister McGrath, If I Had Lunch with C. S. Lewis)
1. Pluralitas agama atau kemajemukan agama mengacu pada fakta keberadaan berbagai agama yang berbeda dalam sebuah masyarakat. 2. Pluralitas intra-agama merujuk pada fakta adanya beragam aliran/denominasi dalam suatu agama tertentu. Semua agama besar dunia memiliki pluralitas intra-agama. 3. Pluralisme agama mengacu pada penafsiran atau sikap terhadap pluralitas agama dalam masyarakat.
Salah satu upaya menyelesaikan pertentangan konsep Realitas Ultimat dalam agama-agama dicetuskan oleh John Hick. Sebagai tokoh pluralis paling berpengaruh abad ke-20, Hick dan pandangannya layak dipahami dan ditanggapi.
Seseorang menganut ET karena dikondisikan oleh situasi sejarah dan kultural dari kelahirannya. Jadi, ET merupakan pandangan yang sempit dan terbatas. Oleh karena itu, kita harus menolak ET dan menerima TPA yang merupakan pandangan yang lebih luas dan terbuka.
Pertanyaan “Manakah wajah Islam yang sesungguhnya?” merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Hal ini disebabkan adanya perbedaan konsep teologi dan praktik dalam kelompok-kelompok Islam yang ada (pluralitas intra Islam). Masing-masing kelompok mengklaim bahwa ajaran dan praktik ritual merekalah yang benar, sementara kelompok yang lain salah. Dengan demikian, penting untuk mengetahui terlebih dahulu kelompok-kelompok Islam yang ada, terkhusus di Indonesia, untuk dapat mengetahui konsep ajaran yang ditekankan (Sumber: Andreas Maurer, Ask Your Mulism Friend, 81-106).
Keesaan Allah adalah ajaran yang didasarkan pada klaim wahyu yang diterima oleh Muhammad. Tidak ada yang sama dan setara dengan Allah (Q.S. 2: 163). Konsep Allah yang Esa atau satu/tunggal ini harus dipahami di dalam tiga kategori: historis, teologis, dan politis.
Wawasan dunia Islam mendorong muslim mengajukan pertanyaan-pertanyaan teologis penting terhadap iman Kristen. Apologetika merupakan langkah kasih orang Kristen untuk menghilangkan hambatan intelektual muslim sehingga mereka dapat menerima Injil.
Tidak semua orang menyukai apologetika. Tidak semua menyukai penginjilan. Yang menyukai salah satu pun seringkali masih tidak menyukai lainnya. Jadi, bagaimana keterkaitan yang benar antara apologetika dan penginjilan?
Sebagian orang secara keliru menganggap bahwa apologetika merupakan elemen mutlak dalam penginjilan. Upaya penginjilan harus menyertakan apologetika. Yang lain lagi berpendapat bahwa apologetika merupakan penentu keberhasilan penginjilan. Tanpa apologetika tidak mungkin ada penginjilan yang efektif. Sebagian lagi merasa penginjil kurang seru apabila pertobatan terjadi tanpa perbantahan.